Hukuman Cambuk Dalam Qanun Aceh Dan Hukum Adat

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

          Aceh[1] merupakan daerah paling ujung barat dari wilayah Indonesia. Daerah ini menyimpan berbagai misteri yang sampai saat ini banyak dikaji oleh para peneliti. Dalam sejarah, kedatangan Islam ini telah menghasilkan beberapa karya yang komprehensif dan mendapatkan julukan Serambi Mekah.[2] Dalam biadang politik banyak ditemukan karya-karya yang komprehensif, baik itu pembahasan yang internal maupun masalah eksternal.

Hukum Cambuk
Hukum Cambuk

          Kehidupan masyarakat Aceh selalu diwarnai dengan nilai-nilai Islam, corak kehidupan seperti ini adalah sebuah keinginan dimana hal tersebut pernah terjadi saat Nanggroe Aceh Darussalam masih berdaulat kerajaan pada zaman Belanda. Dan kemudian kerajaan Aceh juga runtuh ketika bergabung dengan kesatuan Republik Indonesia, konsekuensi hukum Islam yang berlakupun diseragamkan dengan hukum sekuler yang merupakan adopsi dari hukum bangsa Belanda.

          Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan Aceh dinyatakan sebagai bagian dari Indonesia, para ulama  Aceh umumnya dan ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) khususnya berupaya agar Daerah Istimewa Aceh dapat menjalankan Syari’at[3] Islam sebagaimana yang pernah dijalankan pada masa jayanya kerajaan Aceh dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Namun upaya tersebut tidak mendapat respon positif dari Pemerintah Pusat, bahkan pemerintah pusat berusaha meleburkan Daerah Istimewa Aceh ke Sumatera Utara. Sehingga lahirlah pergerakan apa yang dinamakan DI/TII dibawah pimpinan Tgk. M. Daud Beureueh pada tahun 1953 yang bertujuan menerapkan Syari’at Islam di Aceh.

          Pada dasarnya keinginan rakyat Aceh untuk tetap memberlakukan Syari’at Islam pasca kemerdekaan tetap ada, bahkan pada saat itu Soekarno sendiri pernah berjanji memberikan hak kepada rakyat Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam di Aceh. Hal tersebut tertuang dalam dialog Soekarno dengan Daud Beureueh, kala itu Daud Beureueh meminta kepada Soekarno agar kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syari’at Islam di daerahnya, dan Soekarno menyetujui permohonan tersebut dengan alasan 90 persen rakyat Indonesia pun beragama Islam. Akan tetapi, kemudian Soekarno mengingkari janjinya. Dalam pidatonya di Amuntai ia  menyatakan tidak menyukai lahirnya negara Islam dari Republik Indonesia[4] , yang itu juga berimplikasi kepada tidak dibolehkannya daerah Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam.

          Melihat kondisi yang semakin tidak menentu kemudian pemerintah pusat mengirim sebuah misi ke Aceh yang dikenal dengan misi Hardi pada tahun 1959 dengan tujuan menyelesaikan konflik antara pemerintah pusat dengan gerakan DI/TII di Aceh. Setelah melewati bebagai macam dialog yang puncaknya terjadi pada tanggal 25 Mei 1959, Misi Hardi inipun dianggap berhasil, ditandai dengan diberikannya peningkatan status provinsi Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh, dengan hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama Islam, Pendidikan, dan Adat Istiadat.[5]

          Akan tetapi pemberian otonomi tersebut tidaklah serius dilakukan oleh pemerintah pusat, ini dibuktikan dengan tidak diberikannya kewenangan kepada Aceh untuk membuat perangkat undang-undang yang memadai dan mendukung terlaksananya keistimewaan dalam hal penerapan Syari’at Islam, oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau seandainya pelaksanaan Syari’at Islam sebagaimana yang diharapkan masyarakat Aceh tidak dapat terealisasikan.

          Kekecewaan masyarakat Aceh terhadap sikap pemerintah pusat yang dianggap tidak serius dalam memberikan keistimewaan kepada daerah Aceh memicu timbulnya konflik-konflik baru ditengah masyarakat seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang kesemuanya itu menginginkan diberlakukannya Syari’at Islam di Aceh, akibat dari lambannya penanganan pemerintah pusat terhadap masalah tersebut keinginan sebagian rakyat Aceh pun berkembang menjadi tuntutan merdeka.

          Melihat ancaman disintegrasi bangsa tersebut pemerintah pusat kemudian kembali menawarkan sebuah solusi terhadap penyelesaian kasus Aceh yang berkepanjangan, dan solusi yang diambil oleh pemerintah pusat adalah disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Keistimewaan Profinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadi Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2000 oleh DPRD Aceh tentang pelaksanaan Syari’at Islam.

          Syari’at Islam yang menjadi dambaan masyarakat Aceh kini telah berjalan di bumi Serambi Mekkah, pemerintah secara yuridis telah memberikan wewenang penuh kepada Pemerintah Aceh untuk menentukan sendiri jalannya pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam.

          Pada saat ini Aceh telah menyusun beberapa qanun[6] yang mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam, antara lain: Qanun Provinsi Aceh No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah dan syi’ar Islam, Qanun Provinsi Aceh No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun Provinsi Aceh No.13 tahun 2003 tentang Maisir dan Qanun Provinsi Aceh No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Salah satu bentuk metode hukuman yang disebutkan di dalam setiap qanun tersebut diatas yakni hukuman cambuk.[7] Hal ini senada dengan keinginan dan keadaan kultur masyarakat Aceh. Dalam kehidupan sehari-hari, pola tingkah laku masyarakat Aceh bisa dikatakan mencerminkan hukum Islam, artinya sesuai dengan aturan hukum Islam. Dalam sejarah yang panjang, masyarakat Aceh telah menempatkan hukum Islam sebagai pedoman hidupnya dalam segala bentuk kekurangan dan kelebihannya. Penghayatan terhadap hukum Islam kemudian melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut terus berkembang dan hidup dalam kehidupan masyarakat Aceh yang kemudian terakumulasi dalam bentuk-bentuk hadih-hadih maja (kata-kata bijak) seperti: “Adat bak Potemeureuhoem, hukoem bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana.” Yang artinya hukum adat di tangan pemerintah dan hukum agama atau syari’at ada di tangan para ulama. “Adat ngen hukoem lagee zat ngen sifeut.” Artinya hukum dan adat itu merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan di dalam kehidupan rakyat Aceh, keberhasilan syariat bukan hanya diukur dari berapa banyak jumlah pelanggar yang dicambuk, berapa qanun yang sudah dihasilkan, atau masih ada atau tidak pelanggaran. Tetapi keberhasilan syariat yang paling penting adalah kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau kriminalitas. Kesadaran masyarakat merupakan bentuk kepatuhan masyarakat terhadap aturan qanun yang mereka aplikasikan kedalam pola kehidupan, pergaulan dan tingkah laku mareka sehari-hari. Jadi, syariat juga memerlukan pendekatan rasio yang memadai, bukan hanya mengedepankan dorongan emosional keagamaan.[8]

          Perlu adanya pemikiran yang responsive terhadap nilai hukum dan pola tingkah laku masyarakat, agar hukum tidak dipandang kaku akan tetapi lentur sesuai dengan nilai fakta dan realitas sosial masyarakat. Artinya qanun itu tidak hanya manifestasi dari aturan dasar syari’at yang mesti kita laksanakan akan tetapi juga harus merupakan manifestasi dari masyarakat Aceh. Jika kita hanya memandang qanun sebagai aturan syari’at yang mesti kita laksanakan dengan mengabaikan fakta dan realitas yang ada di masyarakat maka dapat dipastikan qanun itu akan berjalan ke arah yang berbeda dengan masyarakat. Akibatnya, dengan tidak adanya kesesuaian antara hukum atau qanun dengan masyarakat, menyebabkan tidak berjalannya aturan qanun seperti yang diharapkan dan dicita-citakan. Hukum itu harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, inilah yang dikatakan ahli sosiologi 10 Marah Halim, Memulai Syari’at Bukan dari Rajam, dalam Serambi Indonesia, hukum, Roscoe Pound.[9] Dengan pemahaman bahwa hukum merupakan suatu aturan yang hidup di dalam masyarakat (living law). Maka hukum (dalam hal ini qanun) yang baik dalam proses pembuatannya harus melihat dari bawah atau dari pandangan adat masyarakat itu sendiri. Karena awal terealisasinya syari’at Islam itu berdasarkan keinginan dari masyarakat dan ini merupakan fenomena sosial, maka tidak relevan jika dalam pembuatan aturan syari’at (qanun) mengabaikan pandangan masyarakat. Demikian juga dengan aturan qanun yang menerapkan hukuman dengan metode cambuk bagi masyarakat, tidak hanya sebatas pelaksanaan dari aturan qanun itu, akan terlihat tidak efektif atau bahkan terkesan qanun itu berjalan di tempat.

          Bentuk hukuman cambuk ini merupakan bentuk penghukuman baru di dalam perundangan Indonesia yang diharapkan dapat mengurangi tingkat kejahatan atau pelanggaran syari’at di Aceh. Maka tidak jarang timbul perbedaan pandangan di masyarakat terkait dengan pelaksanaan hukuman cambuk, baik itu dilihat dari segi Qanun itu sendiri ataupun dilihat dari Hukum Adat setempat. Perbedaan pandangan ini telah terjadi semenjak qanun masih dalam rancangan sampai sekarang.[10]

          Ada sebahagian orang yang mendukung terlaksananya hukuman cambuk, ada kelompok lain yang secara terang-terangan menentang pelaksanaan hukuman cambuk, apakah hukuman kurungan badan dan penjara dalam sistem hukum pidana tidak begitu menjadi shock terapi bagi para pelaku tindak pidana? atau masyarakat yang tidak mengerti tentang pelaksanaan hukuman cambuk. Berbagai macam reaksi muncul di dalam masyarakat terhadap cambuk yang dijadikan sebagai alat pelaksanaan hukuman.

          Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa terdorong dan tertarik untuk meneliti kenapa cambuk menjadi bentuk hukuman di Aceh dan bagaimana penerapannya  menurut qanun Aceh dan hukum Adat Aceh sehingga adanya berbagai macam reaksi muncul terhadap pelaksanaan hukuman cambuk. Padahal syari’at Islam telah disahkan pelaksanaannya dan merupakan salah satu bentuk hukuman yang ada di dalam Islam.

B.  Rumusan Masalah

          Berdasarkan pada uraian dan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:

1.  Apa yang menyebabkan cambuk dijadikan sebagai bentuk hukuman dalam penerapan syari’at Islam di Aceh?
2.  Bagaimana hukuman cambuk menurut qanun Aceh dan hukum Adat Aceh?
3.  Bagaimana persepsi dan respon masyarakat terhadap pelaksanaan hukuman cambuk di aceh?

C.  Tujuan dan Mamfaat Penelitian

1.      Tujuan Penelitian

          Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui penyebab cambuk menjadi bentuk hukum sehingga cambuk dijadikan sebagai alternatif bentuk hukuman di Aceh.
b. Untuk mengetahui bagaimana bentuk hukuman cambuk menurut qanun Aceh dan hukum Adat Aceh.
c. Untuk mengetahui bagaimana respon masyarakat terhadap hukuman cambuk di Aceh

2.      Manfaat Penelitian.

1.  Manfaat Teoritis.
a. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi  keilmuan, khususnya bagi pemerintah provinsi Aceh, dalam hal ini Dinas syari’at Islam, Majelis Adat Aceh, dan Wilayatul Hisbah (WH)[11] tentang bagimana sikap terhadap bentuk hukuman cambuk pada masyarakat Aceh. Sehingga dapat dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan dalam penerapan syari’at Islam.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dan meningkatkan praktik yang sudah berjalan.

2.  Manfaat praktis.
     Penelitian ini dapat menjadi acuan atau pedoman bagi peneliti ke depan dalam mengkaji permasalahan penegakan syariat Islam tentang hukuman cambuk khususnya di propinsi Aceh.

D.  Kajian Terdahulu

          Setelah penulis meneliti beberapa hasil penelitian yang ada, maka sepengetahuan penulis belum ada karya ilmiah yang membahas mengenai tema cambuk sebagai bentuk hukuman (studi perbandingan antara qanun Aceh dan hukum adat Aceh). Dengan demikian, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

          Namun demikian, terdapat beberapa tulisan atau buku yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu buku yang berjudul dimensi pemikiran hukum dalam implementasi syari’at Islam di Aceh, yang disusun oleh Syahrizal, dkk. Buku ini merupakan beberapa kumpulan dari penelitian beberapa penulis yang membahas tentang pelaksanaan syari’at Islam dalam kerangka hukum nasional, respon masyarakat Bireuen terhadap hukuman cambuk, dasar yuridis penentuan ta’zir oleh penguasa dan beberapa problematika implementasi syari’at Islam di Aceh. Pembahasan yang ditulis di dalam buku ini sangat berkaitan dengan persoalan dan masalah yang penulis teliti.

          Selain beberapa buku yang penulis sebutkan di atas. Ada beberapa tesis yang berhubungan dengan penelitian penulis. Misalnya Tesis yang disusun oleh T. Zulfajri, yang lulus pada tahun 2010 dengan judul Tesis persepsi masyarakat tentang penerapan syari’at Islam di kecamatan Indrapuri (pasca pemberlakuan qanun Nomor 13 Tahun 2003). Dalam penelitian ini menjelaskan tentang persepsi masyarakat terhadap penerapan syari’at Islam pasca pemberlakuan qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir atau judi  dan kinerja WH dalam memberantas dan menerapkan qanun maisir dengan lokasi penelitian di Indrapuri. Di dalam penelitian ini juga dibahas tentang ‘uqubat[12] cambuk sebagai hukuman ta’zir bagi yang melakukan pelanggaran terhadap qanun maisir. Persepsi masyarakat dalam hal penerapan syari’at Islam pasca pemberlakuan qanun Nomor 13 Tahun 2003 masih kurang, namun kineja WH dinilai sudah baik dalam mengawal qanun tentang maisir tersebut.

          Selanjutnya Tesis dengan judul: kajian yuridis penanganan kasus khalwat anak dibawah umur (studi kasus di Kota Banda Aceh). Disusun oleh Azzahri, yang lulus pada tahun 2010. Dalam Tesis ini membahas tentang ketentuan hukum bagi anak-anak pelaku khalwat menurut hukum Islam dan hukum positif serta prosedur penanganan kasus khalwat anak yang diatur dalam qanun No 14 Tahun 2003. Sebagaimana yang diatur dalam qanun bahwa hukuman bagi pelaku khalwat adalah uqubat cambuk, Namun dalam hal ini yang melakukan anak dibawah umur maka perlu adanya penanganan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka tidak dicambuk namun diberikan pembinaan dan hal-hal lainnya yang wajar untuk anak dibawah umur.

          Dari beberapa tesis dan buku yang berkaitan dengan tulisan penulis yang penulis paparkan diatas, tidak ada yang secara khusus membahas tentang Cambuk sebagai bentuk hukuman, perbandingan menurut qanun aceh dan hukum adat Aceh. Hampir semuanya hanya membahas secara umum dan tidak spesifik seperti Penelitian penulis. Hal inilah yang membedakan tulisan  penulis dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan sebagaimana yang penulis paparkan diatas.

E. Kerangka Teoretik.

          Hukuman cambuk berasal dari dua kata yaitu hukuman dan cambuk. Yang dimaksud dengan hukuman di dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya, keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.[13] Atau dapat juga dikatakan dengan hukuman yaitu sanksi yang diberikan kepada seseorang yang telah melaksanakan pelanggaran hukum baik pidana dan perdata.

          Sedangkan cambuk yang dimaksud didalam qanun adalah: suatu alat pemukul yang berdiameter antara 0,75 cm sampai 1 (satu) sentimeter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda atau dibelah.[14]

          Sedangkan hukuman cambuk dalam bahasa Arab disebut jald berasal dari akar kata jalada yang berarti memukul dikulit atau memukul dengan cambuk yang terbuat dari kulit. Jadi, hukuman ini terasa di kulit meskipun sebenarnya ia lebih ditujukan untuk membuat malu dan mencegah orang untuk berbuat kesalahan daripada menyakiti dirinya. Hukuman cambuk juga dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 2 tentang tindak pidana perzinaan, dan surat an-Nur ayat 4 tentang tindak pidana qadzaf (menuduh orang mukmin baik-baik berbuat zina tanpa berdasarkan bukti). Dan ada beberapa hadis tentang tindak pidana Khamar (minuman keras) dan Ta’zir (hukuman yang tidak ditentukan oleh Nash Al-Qur’an maupun hadis, tetapi wewenang ulil amri, pemerintahan atau pengadilan untuk menentukannya). Jumlah cambukan untuk zina 100 kali, untuk pidana qadzaf 80 kali, dan untuk pidana miras 40 kali, bahkan pada masa Umar Ibn Khattab ditambah menjadi 80 kali dianalogikan dengan kejahatan qadzaf, yaitu orang yang mabuk dengan ketidaksadarannya dapat menuduh orang baik telah berbuat zina.

          Dalam hukum Positif yang berlaku pada masa kesultanaan dahulu, hukuman cambuk sering dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan di tengah masyarakat. Ketika Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 disahkan, rakyat Aceh pun membuat suatu pengadilan rakyat yang menjatuhkan hukuman badan kepada para penjudi, peminum minuman keras, dan pelaku perbuatan mesum. Pengadilan dan penjatuhan hukuman ini digelar di semua kabupaten, sehingga ada sekitar 40 kasus dalam waktu empat bulan. “Pengadilan Liar” ini baru berhenti setelah para ulama turun memberikan penjelasan bahwa di dalam syari’at, hukuman hanya dapat dijatuhkan oleh pengadilan yang sah dan berwenang, dan hanya boleh dilaksanakan oleh petugas yang resmi, yang diberi wewenang. Dengan demikian rakyat tidak berhak melakukan pengadilan dan tidak berhak menjatuhkan hukuman. Maka sejak saat ini, di 15 dalam berbagai kesempatan, sering terlontar pertanyaan dan tuntutan kepada para ulama, kapan Mahkamah Syari’ah menjatuhkan hukuman kepada para pelaku kejahatan. Dan bentuk hukuman yang diminta pada umumnya adalah hukuman cambuk. Sekiranya bukan hukuman cambuk yang dijatuhkan, maka akan terkesan bahwa hukuman tersebut belum merupakan pelaksanaan syari’at, tetapi masih merupakan hukuman peninggalan Belanda. 

         Metode dalam melaksanakan eksekusi hukuman cambuk, dilakukan di depan umum (terbuka untuk umum) agar timbul rasa malu terhadap perbuatan yang dilakukannya,[15] memakai pakaian yang tipis agar terasa di kulit. Menutup aurat, agar tidak mengakibatkan luka pada satu tempat tertentu, tidak boleh mencambuk muka, kemaluan, dan dada. Eksekutor ditunjuk oleh pihak kejaksaan, menggunakan cambuk terbuat dari kulit atau rotan yang berukuran panjang 1 meter dan 1 cm garis pusat dengan posisi pukulan 90 derajat.
          Dalam hukum Adat, menurut plakat tertanggal 22 April 1808, pengadilan diperkenankan menjatuhkan pidana:

1.      Dibakar hidup pada suatu tiang
2.      Dimatikan dengan menggunakan keris
3.      Dicap bakar
4.      Dipukul
5.      Kerja paksa pada pekerjaan umum.[16]

          Di Aceh, zina disebut “meumukah” dan di masa dahulu dipandang sebagai kejahatan besar (fashiyah), dimana si pelaku harus dihukum siksa (had) dan si pelaku dibedakan antara orang yang muhsin yaitu yang merdeka, dewasa, beristri dengan nikah yang sah dan telah mendukhuli istrinya, dan yang tidak muhsin. Hukuman orang yang muhsin ialah masing-masing dicambuk 100 kali dan diasingkan satu tahun lamanya, bagi yang tidak muhsin misalnya budak dicambuk 50 kali dan diasingkan setengah tahun lamanya.[17]

          Dalam studi Islam secara umum (terutama hukum Islam), nama Christian Snouck Hurgronje (1757-1837) jauh lebih dikenal ketimbang Van den Berg. Snouck Hurgronje dikenal luas sebagai salah seorang sarjana yang menjadikan Islam sebagai satu disiplin tersendiri di Barat. Ia juga dikenal sebagai salah seorang tokoh awal yang menjadikan hukum Islam sebagai salah satu obyek kajian di Eropah dengan pendekatan sejarah. Van Niel juga menggambarkan Snouck Hurgronje sebagai tokoh penting yang mempunyai pengetahuan cukup luas tentang Nusantara (Indonesia). Selama lebih dari tujuh belas tahun (1889-1906), ia menempati posisi penasehat khusus Pemerintah Kolonial Belanda yang sebelumnya dijabat oleh Van den Berg, yang bertugas, antara lain, memberi nasehat terkait dengan ajaran Islam dan budaya setempat. Hingga kini, nama Snouck Hurgronje tetap dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia, apalagi di kalangan mereka yang studi Islam Indonesia.

          Salah satu yang membawa namanya dikenal luas adalah teorinya yang dikenal dengan Receptie, yang kemudian teori tersebut didukung kuat oleh dua sarjana Belanda berikutnya: Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) dan B. Ter Haar.

          Teori Receptie secara tegas berbeda (bahkan bertentangan) dengan Receptio in Complexu yang dikemukakan pendahulu Teori tersebut menegaskan bahwa hukum Islam akan berlaku secara efektif di kalangan umat Islam jika hukum Islam tersebut sejalan dengan hukum adat di Indonesia. Dengan demikian, hukum yang berlaku di Indonesia tidak didasarkan pada ajaran agama (Islam) tetapi lebih pada hukum adat setempat. Teori Receptie telah menjungkir balikkan teori Receptio in Complexu yang telah dikenal sebelumnya. Van Vollenhoven mendukung teori yang diajukan Snouck Hurgronje dengan mengatakan satu hambatan kuat untuk mengkaji hukum adat di Indonesia adalah terdapatnya proposisi keyakinan yang salah bahwa hukum masyarakat mengikuti agama yang dianut dan setiap agama pasti mempunyai hukum. Karena itu, agama mempunyai hukum, agama Hindu mempunyai hukum Hindu, agama Islam mempunyai hukum Islam, agama Kristen mempunyai hukum Kristen, dan seterusnya. Proposisi yang sebenarnya bertolak belakang dengan kenyataan ini telah dan masih mempunyai pengaruh kuat yang amat fatal. Yang sebenarnya terjadi adalah: pengaruh hukum agama itu amat terbatas. Sebagian besar sarjana melakukan kesalahan dengan terlalu menekankan element agama dalam hukum adat, dan mencampur aduk antara ajaran agama dengan hukum adat. Dengan menekankan pentingnya hukum adat sebagaimana yang dilakukan Snouck Hurgronje, Van Vollenhoven meneruskan penelitiannya dengan hasil yang dikenal luas berupa terdapatnya sembilan belas macam hukum adat di Indonesia.

          Menurut Sajuti Thalib, transisi dari teori Receptio in Complexu ke arah teori Receptie berlangsung cukup lama, dan selama masa transisi tersebut Pemerintah Kolonial Belanda telah memberlakukan sejumlah aturan. Setelah melalui proses panjang dengan sejumlah aturan tersebut, pada akhirnya dikeluarkanlah Stbl. Nomor 221 tahun 1929, pasal 134 (2) Wet op de Staatsinrinchting van Ned. Indie (IS) yang kemudian dikenal sebagai sumber formal diberlakukannya teori Receptie yang diajukan oleh Snouck Hurgronje. Istilah “Adat” sendiri pertama kali dipergunakan oleh mantan penasehat TS Raffles, Muntinghe tahun 1817 yang mengatur; “moralitas, kebiasaan, lembaga-lembaga hukum”. Ditegaskan oleh Benda Beckmann bahwa Van Vollenhoven menggunakan analisis yang luas dengan definisi yang terikat pada konsep definisi pada negara dan membuka kemungkinan ko-eksistensi saling bergantungnya pengaturan hukum yang memperoleh legitimasi berbeda danberdasarkan struktur organisasi yang berbeda yang kini dinamakan “Pluralisme Hukum”. Penulis lebih suka mengatakan Hukum Dalam Adat untuk menterjemahkan bukan hukum seperti itu. Atau lebih tepat “bukan hukum”. Karena menurutnya mengacu pandangan bahwa hanya aturan tertulis yang secara konsisten ditegakkan oleh kedaulatan negara adalah hukum. Oleh karena itu, tidak dapat disebut hukum hanya sebatas kebiasaan. Van Vollenhoven menghindari jebakan semantik dengan istilah Customary Law, karena termasuk didefinisikan dan disahkan oleh legislator, hakim atau pakar hukum.

F.  Metode Penelitian

          Metode merupakan suatu cara atau jalan yang ditempuh oleh seorang peneliti guna mendapatkan kemudahan dalam mengkaji dan membahas persoalan yang dihadapi.[18] Dan metode yang digunakan adalah metode komparatif yaitu: “suatu penelitian yang bertujuan untuk membandingkan cambuk menurut qanun Aceh dan hukum adat Aceh.

          Oleh karena itu dalam pembahasan penelitian ini,  penulis akan melakukan beberapa langkah untuk mendapatkan data antara lain:

1. Jenis Penelitian
          Dalam penelitia ini, penulis menggunakan Library Reseach (penelitian pustaka), yaitu pengumpulan data dengan cara menelaah buku buku, majalah, website dan referensi-referensi yang relevan dengan permasalahan yang ada dalam judul penelitian ini. Di samping itu penelitian ini juga menggunakan Empirik Research yaitu observasi atau kejadian yang di alami sendiri oleh peneliti digunakan sebagai penunjang terhadap kesempurnaan penelitian ini.

2.  Sifat Penelitian
          Dalam pembahasan  ini penulis menggunakan metode komparatif yaitu metode yang bertujuan membandingkan bentuk hukuman cambuk menurut qanun Aceh dan hukum adat Aceh, agar lebih jelas dan diketahui titik persamaan dan perbedaannya.

3.  Pendekatan Penelitian
          yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu menggunakan pendekatan historis, yaitu pendekatan yang berdasarkan pada latar belakang sejarah bentuk hukuman cambuk menurut qanun Aceh dan hukum adat Aceh.

4.  Teknik Pengumpulan
          Data Untuk menjadi sebuah penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan, penulis menggunakan metode literal, yaitu dengan cara menggali berbagai informasi yang ada di berbagai buku yang berhubungan dengan tema penelitian, di samping itu juga tidak menutup kemungkinan untuk mencari data pendukung lainnya baik berupa wawancara maupun observasi langsung, dengan demikian diharapkan akan mendapat sebuah data yang memuaskan.

5.  Teknik Analisis
          Data Pada penelitian ini analisa data menggunakan analisis kualitatif, yaitu tidak dilakukan dengan cara perhitungan data statistik, melainkan dengan cara membaca dan mencermati data yang telah diolah, untuk itu analisa dilakukan dengan menggunakan metode komparatif.[19]Yaitu membandingkan data dari konsep metode hukuman cambuk menurut qanun Aceh dan metode hukuman cambuk menurut hukum adat Aceh, kemudian dicari perbedaan dan persamaan antara kedua konsep tersebut.

G. Sistematika Pembahasan

          Untuk memudahkan para pembaca dalam mengikuti pembahasan ini, maka penulis menggunakan sistematika pembahasan dalam lima bab, yang masing-masing bab terdiri dari sub bab sebagaimana tersebut dibawah ini.         

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian terdahulu, kerangka teoretik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang latar belakang munculnya hukuman cambuk di provinsi Aceh, yang meliputi, hukuman cambuk dalam Islam, hukuman cambuk dalam hukum adat Aceh dan hukuman cambuk dalam qanun Aceh.        

Bab ketiga membahas tentang dinamika dan problematika pelaksanaan hukuman cambuk di provinsi Aceh, dan respon masyarakat terkait dengan Proses Pelaksanaan hukuman Cambuk.

          Bab keempat pembahasan komparatif tentang hukuman cambuk, yang memaparkan persamaan dan perbedaan hukuman cambuk menurut Qanun Aceh dan hukuman cambuk menurut hukum adat Aceh. Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran seputar topik pembahasan


BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan

          Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab maka dapat di ambil kesimpulan

1. Latar belakang diberlakukannya cambuk sebagai bentuk hukuman dalam penerapan syari’at Islam, itu berawal dari sejarah Aceh. Sejarahlah yang melatar belakangi munculnya hukuman cambuk di provinsi Aceh yaitu pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ketika itu Sultan Iskandar Muda pernah menghukum putera satu-satunya yang bernama (Meurah Pupok) dengan bentuk hukuman cambuk karena telah melanggar hukum dan adat Aceh yakni telah melakukan zina dengan salah seorang istri pengawal istana Sultan, sehingga akhirnya Sultan Iskandar Muda memutuskan untuk melaksanakan sendiri hukuman cambuk tersebut karena sesuai dengan perintah Allah Swt. yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Peristiwa sejarah diatas mengindikasikan awal permulaan dari penerapan hukuman cambuk di provinsi Aceh.

2. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan Aceh dinyatakan sebagai bagian dari Indonesia, para ulama Aceh umumnya dan ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) khususnya berupaya agar Daerah Istimewa Aceh dapat menjalankan Syari’at Islam sebagaimana yang pernah dijalankan pada masa jayanya kerajaan Aceh dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Namun upaya tersebut tidak mendapat respon positif dari Pemerintah Pusat, bahkan pemerintah pusat berusaha meleburkan Daerah Istimewa Aceh ke Sumatera Utara. Sehingga lahirlah pergerakan apa yang dinamakan DI/TII dibawah pimpinan Tgk. M. Daud Beureueh pada tahun 1953 yang bertujuan menerapkan Syari’at Islam di Aceh. Melihat kondisi yang semakin tidak menentu, kemudian pemerintah pusat mengirim sebuah misi ke Aceh yang dikenal dengan misi Hardi pada tahun 1959 dengan tujuan menyelesaikan konflik antara pemerintah pusat dengan gerakan DI/TII di Aceh. Dan akhirnya pemerintah pusat kembali menawarkan sebuah solusi terhadap penyelesaian kasus Aceh yang berkepanjangan, dan solusi yang diambil oleh pemerintah pusat adalah disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Keistimewaan Profinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadi Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang kemudian diikuti dengan di keluarkannya Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2000 oleh DPRD Aceh tentang pelaksanaan Syari’at Islam.

3.      Penerapan hukuman cambuk di provinsi Aceh bila dilihat dari segi qanun Aceh dan hukum adat Aceh terdapat banyak kesamaan diantara keduanya, diantaranya memiliki dasar-dasar hukum yang sama, tujuan dari penerapan hukuman cambuk yang sama, dan mempunyai peran yang sama karena bentuk hukuman cambuk yang telah diuraikan dalam qanun Aceh itu rangkuman dari kebiasan sehari-hari masyarakat Aceh yang menyatu dengan adat sehingga sering sifat adatnya itu lebih menonjol dari sifat syariatnya. Namun tidak menutup kemungkinan diantara keduanya itu tetap memiliki perbedaan, adapun perbedaan yang signifikan terdapat pada bentuk pelaksanaan ditengah-tengah masyarakat, yakni dalam hukum adat Aceh apabila terjadi pelanggaran baik itu berupa pelanggaran minum-minuman keras (khamar), Perjudian (maisir), dan perbuatan mesum (khalwat), maka pelanggaran tersebut akan diselesaikan melalui Reusam Kampoeng (hukum adat setempat) dengan mengadakan musyawarah, adapun bentuk sangsi bagi yang melakukan pelangaran-pelangaran tersebut yaitu membayar denda sebesar Rp. 10.000.000 dan dicambuk hanya dengan 5 kali cambukan, yang pelaksanaannya disaksikan oleh masyarakat umum dengan ketentuan bagi kaum laki-laki berdiri tegak dan memakai pakaian berwarna putih, dan bagi kaum perempuan dengan cara duduk dan ditutup kepalanya dengan kain putih, namun dalam hukum adat Aceh, sebelum dieksekusi dengan hukuman cambuk terlebih dahulu si pelanggar disiram dengan air kotor seperti air parit. Berbeda halnya dalam qanun Aceh, tidak dilakukan dengan cara penyiraman dengan air kotor terlebih dahulu, bagi mereka yang melakukan pelanggaran tersebut, sangsinya telah ditentukan jumlah cambukannya tergantung pelanggaran yang dilakukan, misalnya pelanggaran khamar, maksimal dicambuk 40 kali minimal 10 kali cambukan, dan membayar denda maksimal Rp. 75.000.000 minimal Rp. 25.000.000. Pelanggaran maisir, maksimal dicambuk 12 kali minimal 6 kali, dan membayar denda maksimal 35.000.000 minimal 15.000.000. Dan pelanggaran khalwat, dicambuk maksimal 9 kali 86 minimal 3 kali, dan membayar denda maksimal 10.000.000 minimal 2.500.000.

4. Selain perbedaan jumlah cambukan, dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh juga terdapat berbagai perbedaan pandangan dalam memahami hukuman cambuk itu sendiri, pelaksanaan peraturan daerah (qanun) itu tidak lepas dari kontroversi. Masyarakat dan kalangan praktisi hukum menanggapi pro kontra. Beberapa alasan yang mendasarinya antara lain; pelaksanaan peraturan daerah (qanun) tersebut dinilai diskriminatif, karena hanya membidik masyarakat kecil.

B. Saran

1. Dalam pelaksanaan hukuman cambuk di provinsi Aceh seharusnya tidak ada eksklusifitas terhadap kelompok tertentu seperti yang terjadi di beberapa kabupaten, di mana pada saat sekelompok orang atau oknum aparat tepatnya dihadapkan dengan sanksi pidana cambuk karena melanggar qanun dan hukum adat Aceh, aparat tersebut malah terkesan dibiarkan saja lolos tanpa proses lebih lanjut. Selain itu ada juga sekelompok orang yang lepas dari sangsi pidana cambuk karena membayar sejumlah denda, hal ini tentu saja menguatkan anggapan bahwa cambuk hanya diberikan terhadap pelanggar ekonomi lemah dan dengan sendirinya karena perlakuan khusus tersebut akan menghilangkan tujuan pidana badan itu sendiri dalam Islam. Patut disadari bagaimanapun bagusnya sebuah produk hukum walaupun bersumber pada hukum Allah yang sempurna, jika cacat dalam pelaksanaannya maka tujuan hukum tersebut tidak akan pernah terpenuhi.

2.  Sudah seharusnya seluruh elemen bangsa khususnya Nanggroe Aceh loen sayang, mencarikan solusi yang ampuh untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan dengan cara-cara yang tepat tanpa mengenyampingkan perasaan yang hidup didalam masyarakat, dan segala situasi yang terus berkembang di dalam masyarakat agar masyarakat tidak menerapkan hukum dengan pola dan cara-caranya sendiri dan melanggar hak-hak masyarakat lain.

DAFTAR PUSTAKA
                Abu Bakar Aceh, tentang nama Aceh, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980), hlm. 19. Lihat juga A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993)
            Syarifudin Tippe, Aceh Dipersimpangan Jalan, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000)
            Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar van Hoeve, 1997)
            M. Nur El Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh, cet. ke-2 (Jakarta: Gunung Agung, 1986)
            Hardi, SH, Daerah Istimewa Aceh Latar Belakang dan Masa Depannya, (Jakarta: Karya Unipress,1993)
            Mohd. Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk Indonesia,(Bandung: Unpad Press, 2009)
            Marah Halim, Memulai Syari’at Bukan dari Rajam, dalam Serambi Indonesia, (Banda Aceh, Senin, 2 November 2009)
            Edwin M. Schur (ed.), Law and Society a Sociologycal View dalam Sosiologi Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001)
            Mohd. Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk Indonesia, (Bandung: Unpad Press, 2009)
            Wilayatul Hisbah Istilah dari Polisi Syari’ah, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca Mou Helsinki, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
            Andi Hamzah dan Andi Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1985)
            Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1979)
            Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-1, (Yogyakarta: Reka Sarasin, 1996)
            Muh. Nasir, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indo, 1998)






                [1], Abu Bakar Aceh, tentang nama Aceh, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980), hlm. 19. Lihat juga A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hlm. 188.
                [2]Syarifudin Tippe, Aceh Dipersimpangan Jalan, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), hlm. 11
                [3], Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar van Hoeve, 1997), hlm. 334.
                [4] M. Nur El Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh, cet. ke-2 (Jakarta: Gunung Agung, 1986), hlm. 67-68
                [5] Hardi, SH, Daerah Istimewa Aceh Latar Belakang dan Masa Depannya, (Jakarta: Karya Unipress,1993), hlm. 22
                [6] Qanun merupakan peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh, lihat Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata cara Pembentukan Qanun, Pasal 1 ayat (14).
                [7]  Mohd. Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk Indonesia, (Bandung: Unpad Press, 2009), hlm. 9.
                [8] Marah Halim, Memulai Syari’at Bukan dari Rajam, dalam Serambi Indonesia, (Banda Aceh, Senin, 2 November 2009), hlm. 22
                [9] Edwin M. Schur (ed.), Law and Society a Sociologycal View dalam Sosiologi Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), hlm. 102.
                [10] Mohd. Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk Indonesia, (Bandung: Unpad Press, 2009), hlm. 143.
                [11] Wilayatul Hisbah Istilah dari Polisi Syari’ah, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca Mou Helsinki, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 14
                [12]  ‘Uqubat adalah ancaman ‘uqubat terhadap pelanggaran jarimah qishas-diat, hudud dan ta’zir, lihat Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Pasal 1 ayat (19).
                [13]  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm.315.
                [14]  Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan UndangUndang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Intruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, cet. ke-6, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hlm. 143.
                [15] An-Nur (24) : 2.
                [16] Andi Hamzah dan Andi Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan,(Jakarta: Ghalia Indonesia,1985), hlm. 47.
                [17]  Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 98.
                [18] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-1, (Yogyakarta: Reka
Sarasin, 1996), hlm.179.
                [19]  Muh. Nasir, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indo, 1998), hlm. 68

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hukuman Cambuk Dalam Qanun Aceh Dan Hukum Adat"

Posting Komentar